Seminar International

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN SGD Bandung

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Karang Taruna Kp Tugulaksana Rw 13 Go International

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kunjungan Pemuda Amerika

Kunjungan dari Ikatan Pemuda Amerika di Indonesia.

Karang Taruna Mengabdi

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, December 26, 2011

"Indahnya Sandiwara Langit"


INDAHNYA SANDIWARA LANGIT
Karya : Deden Muhidin
  • Juara 3 Lomba Menulis Cerpen Gema Muharam 1433 H se-UPI.

Zahra berlari menepis angin, tubuhnya menerobos ke semak-semak belukar yang menghiasi padang ilalang di kebun Pak Jauhar. Sementara itu, terdengar suara adiknya memanggil dari belakang dengan nafas yang terengah-engah. "Kakak, tunggu Rahmi.” Sahutnya, Tetapi suara itu tak terdengar oleh Zahra, ia terus berlari menelan waktu. Setelah sekian lama berlari, tibalah Zahra di depan gubuk tua yang berbilik bambu dan beratap rumbia.
"Sungguh ramai rumah ku? Ada apa ini?.” Tanyanya dalam hati.
Sementara hatinya menelusur jauh ke dunia lain. Apakah nenek, atau ah lupakan sajalah fikiran itu. Aku tak mau fikiran itu menghujam dibenakku. Tetapi terdengar alunan suara-suara syahdu ayat suci al-Quran yg menggema dari dalam rumah tua itu. "Apakah benar semua ini?". Tanyanya lagi. Tanpa memikirkan adiknya yang tertinggal jauh, ia pun berlari menuju pintu rumahnya dan menerobos orang-orang dihadapannya. Sementara itu, adiknya masih di perbatasan desa sana. Zahra pun menjerit seketika itu juga, ketika melihat tubuh neneknya yang telah merawatnya dari kecil terbujur kaku dengan kain putih yang membalut tubuh rentanya. Dan tak terasa bendungan air mata itu pecah mengalirkan air keharuan dalam sungai duka. "Nenek...Ne..Ne.. Nek.. Jangan tinggalkan Zahra, Zahra sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain nenek", teriaknya dengan suara sedikit parau. Sementara itu beberapa tetangganya berusaha menenangkan Zahra malahan ada yang mengajaknya pergi ke ruangan lain. "Kasihan Zahra dan Rahmi, masih kecil sudah ditinggal kedua orangtuanya dan sekarang ditinggal neneknya". Bisik salah satu tetangga Zahra kepada yang lain. Memang terlalu berat ujian bagi Zahra dan adiknya Rahmi, sejak bayi mereka sudah ditinggal kedua orangtuanya dan sejak saat itu neneknyalah yang mengurus keduanya. Dan kini Zahra berumur 12 tahun sedangkan adiknya Rahmi berumur 5 tahun. Wajah keduanya begitu mirip bak pinang dibelah dua, hidung mancung dan bulu mata yang lentik menjadi ciri khas keduanya.
"Kakak, nenek kenapa? Ko diam saja?.” Tanya adiknya dengan suara mungilnya."Nenek sudah pergi jauh, dan nenek sudah menyusul Abi dan Umi kita di syurga". Jawab Zahra dengan lirih. "syurga itu jauh ya?" tanyanya lagi. "iya syurga itu sangat jauh, dan hanya orang-orang yang beriman serta yang diridhoi Allah sajalah yang akan masuk syurga". Jawabnya tegas.
"kalau begitu aku ingin pergi ke syurga ah biar bisa nyusul Abi,Umi dan juga Nenek".
Tiba-tiba kedua tubuhnya melayang dan kini keduanya berada di suatu tempat yang sangat indah, dan di tempat itu keduanya bermain-main di Padang ilalang yang sangat luas dan bernuansa putih, bunga-bunga bermekaran indah dan sungai-sungai berkelok-kelok menari dengan syahdunya alam. Ketika keduanya berjalan di jembatan yang indah, tiba-tiba terdengar suara yang membisikkan keduanya dan tak disangka suara itu sangat mirip dengan suara neneknya. Suara itu berpesan agar Zahra menjaga baik-baik adiknya serta selalu berpegang teguh kepada tali Agama Allah yang benar.
Jakarta, 17 Nopember 2011
Suara bising kendaraan memekik tajam, jalan layang itu pun berkerut seperti tanpa arah dan dengan tanpa rasa lelahnya ia selalu siap dilalui oleh banyak orang dengan berbagai tujuan. Gemerlapnya suasana malam itu, menambah eksotisnya Kota Metropolitan Jakarta dan angin yang dingin menambah kesyahduan malam itu. Seperti biasa, tepat jam sebelas malam, Sahara sudah berada di Ujung Jembatan tua itu. Menunggu pelanggannya yang selalu setia berkencan dengannya. Namun kali ini pelanggannya itu tak kunjung tiba, ia pun mulai gelisah. Bagaimana aku bisa hidup jika malam ini tidak mendapatkan uang?, belum lagi tunggakkan kontrakan yang sudah melambung tinggi belum aku bayar. Sahara terus menggerutu dan berbicara pada angin malam yang berhembus semakin dingin. Tiba-tiba ada mobil mewah yang menghampirinya.
“Nah, mungkin ini pelanggan gue dan pastinya dompetnya tebal setebal gunung di sana”. Gumamnya sambil menerawang jauh.
Namun apa yang ada difikirannya berbalik 180 derajat lebih, yang keluar dari mobil mewah itu bukanlah sesosok laki-laki yang siap berkencan dengannya. Namun wanita dengan jilbab ungu yang menjuntai anggun dan dengan senyumannya yang manis. Sahara pun terkejut sambil mengerutkan dahinya yang berlapis bedak tebal.
“Assalamu’alaikum?” tanya wanita berjilbab ungu tersebut dengan sopan.
“Wa..wa.. wa‘alaikum salam”. Jawabnya dengan agak terbata-bata. Ia terkejut karena sosok itu mengingatkanya pada seseorang yang sangat ia cintai dan ia sayangi. Ya, ia teringat almarhumah adiknya yang meninggal pada peristiwa kecelakaan maut di Siduarjo 10 tahun silam. Wajahnya seketika itu murung dan ia melamun tajam.
“Kok anda melamun, Mba ?”.Tanya wanita berjilbab tersebut.
“Oh .. tidak.. ti..tidak”.
“Apakah ada yang aneh dengan diri saya ?”
“Oh tidak mba, tidak apa-apa. Apakah ada yang bisa saya bantu ?. Tanyanya dengan nada datar.
“Begini, saya sedang mencari suatu alamat di kota ini. Mungkin mba bisa membantu saya, ini alamatnya. Wanita berjilbab itu pun menyerahkan secarik kertas yang berisi alamat yang ia tuju. Setelah selang beberapa lama dan bebincang-bincang, Sahara pun bersedia mengantarkan wanita berjilbab itu karena memang alamatnya satu arah dengan kontrakkannya. Lumayan, dapat tumpangan gratis ujarnya.
Sahara pun masuk ke dalam mobil mewah beserta wanita berjilbab itu. Dan diantar oleh supirnya yang selalu setia menemani kemana pun ia pergi. Mobil merah tua itu pun melaju kencang menerobos angin malam dan lampu sorotnya tak henti-henti menyoroti celah-celah aspal yang berlubang. Terkadang tikus-tikus pun berlarian karena tersorot cahaya lampu mobil wanita itu. Di dalam mobil, wanita berjilbab itu memperkenalkan dirinya kepada Sahara. Dan ia adalah Rahmi seorang mahasiswi tingkat akhir UPI jurusan Pendidikan Bahasa Arab yang sekarang sedang melakukan penelitian di Jakarta. Rahmi juga menceritakan kisah hidupnya, ia adalah anak yatim piatu dari sebuah desa miskin yang terletak di kaki bukit Gunung Bromo dan ia bercerita bahwa sebenarnya ia mempunyai seorang kakak perempuan yang sampai sekarang ia belum pernah berjumpa lagi sejak kecelakaan maut yang memisahkan keduanya. Masa kecilnya juga dihabiskan berdua, ia bermain di padang ilalang yang indah. Melihat anak burung yang baru menetas, memancing ikan sampai peristiwa dikejar-kejar domba ia ceritakan dan Rahmi bercerita sangat riang seolah-olah ia bercerita kepada kakaknya sendiri yang sudah lama tidak ia jumpai. Dan selama Rahmi berceloteh ria tentang kehidupannya, Sahara mulai menitikan air matanya dan ia tak menyangka bahwa kini ia menemukan kembali adiknya yang selama ini ia anggap sudah meninggal disaat kecelakaan maut itu. Dan ia pun merasa malu akan dirinya saat ini, dahulu ia seorang yang pandai dan rajin mengaji di Masjid selain itu ia pun pernah menjuarai MTQ di Desanya. Namun kenyataannya saat ini, ia menjadi seorang wanita yang menjajakan kehormatannya demi uang dan terbujuk oleh gemerlapnya dunia dan balutan kerudung masa kecilnya hanya menjadi kenangan kecil dalam memorinya. Tuhan, mengapa aku ditakdirkan seperti ini ?, Betapa beruntungnya adikku Rahmi, yang bisa menjaga diri dan kehormatannya dan ia pun senantiasa istiqomah dalam menjalankan syari’at_Mu. Tapi hamba, tak bisa mengemban amanah_Mu dan tak bisa berpegang teguh pada Agama_Mu. Tuhan, ampuni hamba_Mu ini.
Dan Sahara tidak mau menceritakan siapa ia sebenarnya, ia merasa malu kepada adiknya.Dan memang secara sengaja ia merubah namanya Zahra menjadi Sahara supaya lebih modern, tegasnya. Suara tangis Sahara semakin menjadi-jadi dan menggema di dalam mobil merah tua itu dan tangis Sahara pun memecah keheningan malam dan membuat Rahmi heran.
“Mengapa anda menangis seperti itu ?”
“Oh tidak,, saya merasa malu akan diri saya sekarang ini, anda seorang wanita yang taat beragama tapi tidak merasa malu duduk satu mobil dengan seorang wanita hina seperti saya”. Ujarnya dengan isak tangisnya yang semakin menjadi.
“Mengapa anda harus malu ? Tuhan menciptakan manusia dalam derajat yang sama, dan dimata Allah semua manusia itu memiliki derajat yang sama pula. Jika anda merasa diri anda itu hina, cobalah bertaubat kepada Allah karena Allah itu Maha Pengampun dan akan menerima taubat hambanya asalkan ia bersungguh-sungguh.” Ucap Rahmi kepada Sahara.
Sahara pun mengantarkan Rahmi ke alamat yang dituju yang tidak lain adalah rumah Bapak H.Sulaiman pemilik kontrakan yang didiami olehnya. Dan Sahara pamit untuk pulang. Sejak kejadian itu, Sahara selalu terbayang-bayang oleh adiknya dan ia merasa bingung harus melakukan apa. Disisi lain, jika ia harus jujur kepada adiknya pasti adiknya akan marah mengapa seorang kakak yang dahulu menjadi panutan adiknya untuk selalu menjaga aurat dan selalu berbuat baik, tapi sekarang ia malah menjilat ludahnya sendiri. Ia termakan oleh ucapannya dahulu. Namun, jika terus-terusan seperti ini, ia pun tidak mau selamanya berada dalam lumpur dosa yang hitam dan membawa beban dalam hidupnya. Dalam kesendiriannya, ia terus menangis dan meratapi nasib dirinya sendiri. Setelah lama merenung dan memikirkan segala resiko yang akan dihadapinya, ia pun memutuskan untuk menemui adiknya yang sekarang berada di rumah Bapak H. Sulaiman yang sedang melaksanakan penelitian bahasa, ya H. Sulaiman merupakan seorang ahli tata bahasa arab dalam kajian Al-Qur’an.
“Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumsalam , Eh .. Sahara, mari masuk ada orang spesial yang sudah menunggumu”.Jawab H. Sulaiman dengan nada ramahnya.
“Orang spesial ?”tanya Sahara heran.
“Sudah mari masuk, ia sudah menunggumu”
Sahara memasuki rumah yang sederhana tetapi rapih dan megah. Di atas pintunya terdapat lukisan kaligrafi yang indah dan ini mengingatkankan rumahnya dahulu di desa. Setelah masuk dan ternyata orang spesial itu adalah Rahmi adiknya, tapi mengapa Pak Sulaiman mengatakan bahwa Rahmi adalah orang spesial ? tanda tanya besar menggantung dihatinya dan ia pun baru ingat ketika ia mengontrak pertamakali di kontrakannya Pak Sulaiman ia menceritakan kisah hidupnya persis seperti apa yang diceritakan Rahmi kepadanya. Apakah benar semua ini ?.
Rahmi berdiri dan berlari memeluk kakaknya, Sahara. Keduanya berpelukan dengan erat dan saling melepas rindu. Suara tangis keduanya memecah kebisingan Kota Jakarta saat itu dan langit yang cerah serta burung-burung yang berkicau menjadi saksi keharuan dua insan manusia yang ditakdirkan dalam sandiwara langit. Ditengah-tengah rasa haru dan bahagia, tiba-tiba Sahara jatuh pingsan dan lemas tak berdaya. Rahmi dan Pak H. Sulaiman merasa kaget akan pingsannya Sahara, dan Rahmi langsung membawanya ke Rumah Sakit Fatmawati Jakarta. Di dalam mobil ambulan yang terus melaju, Rahmi menatap dalam-dalam wajah kakaknya yang sangat ia sayangi. Teringat masa kecilnya, hidup pahit dalam kebersamaan. Bersepeda bersama, memancing ikan bersama neneknya, berkeliling kampung berjualan kue basah buatan neneknya. Sungguh, memori itu tidak akan pernah ia lupakan dalam sepanjang sejarah hidupnya. Dan kini, sosok kakak yang tegar dan selalu mengajarkan kebaikan kepadanya itu, kini terbaring lemah diatas empuknya kasur putih dan berselimut katun tua.
Kakak, jangan tinggalkan Rahmi. Rahmi tidak ingin kakak pergi untuk selamanya. Rasanya baru saja kita memetik indahnya pertemuan dan melepas rindu yang sangat kita dambakan sejak peristiwa naas sepuluh tahun silam yang memisahkan kita. Dan aku tidak mau jika hal itu terulang kembali. Dalam masa penantian ini, aku selalu mencari informasi tentang keberadaan kakak. Mulai dari teman-teman sekolah kakak hingga supir-supir kebun yang biasa kita tumpangi jika ingin ke Kota. Dan akhirnya Tuhan mempertemukan kita di tengah-tengah hiruk-pikuk dan gemerlapnya dunia Jakarta yang menjadi magnet bagi siapapun.
Di kamar Cempaka 13, Sahara terbujur kaku berselimut garis merah dan selang infusnya menjalar ditubuhnya. Dan seketika itu Rahmi menunaikan Sholat Duha dan ia seraya berdo’a.
“Tuhan”
“Kami hanya insan biasa, yang tak pernah luput dari dosa”
“Kami hanya insan biasa, yang tak pernah luput dari bujukan-bujukan hitam yang menggiurkan”
“Dan kami hanya insan biasa yang terkadang bingung mana yang baik dan mana yang buruk
“Tapi hamba tahu, bahwa Engkau Maha Pengampun dan Pemaaf”
“Ampunilah dosa kami, dosa ibu bapak kami dan tentunya ya Allah”
“Bantulah hamba_Mu ini dalam membimbing kakakku yang terjerumus dalam lumpur hitam itu”
“Berilah ia kesabaran dan ketabahan”
“Semoga sakitnya ia saat ini menjadi penggugur dosanya”
Amiin”
Mendengar do’a Rahmi, Sahara menangis dan tersadar. Dan sahara mengatakan kepada Rahmi bahwa ia ingin bertaubat dan tidak mau terjerumus kembali dalam lubang dosa. Dan ia ingin berubah dan menjadi wanita shalehah kembali seperti masa kecilnya dahulu yang selalu mengenakan kerudung. Dan Sahara memohon bimbingan kepada adiknya agar ia membantu dalam mewujudkan harapannya itu. Dan keinginan Sahara disambut baik oleh Rahmi dan Rahmi berjanji akan mengubah kakaknya kembali menjadi seorang wanita yang shalehah seperti dahulu. Keduanya berpelukan kembali dan mereguk manisnya iman dan mereka merasakan akan dekatnya Allah bersama mereka. Atas Rahmat Allah dengan kuasa_Nya yang Agung, Sahara berhijrah kembali dengan bimbingan Rahmi dan Pak H. Sulaiman, Sahara kini menjadi seorang wanita yang menutup auratnya kembali bahkan ia pun rajin menuntut ilmu dan sering membaca buku-buku tentang keislaman. Dan kini ia pun menjadi aktifis dakwah dan memulai dakwahnya kepada teman-teman seprofesinya dahulu agar kembali kepada jalan yang benar dan diridhoi oleh Allah SWT.
Inilah sandiwara langit yang didalamnya terdapat misteri-misteri yang indah. Manusia tidak ada yang tahu akan nasibnya kelak apakah ia berada di Syurga atau Neraka, tetapi setidaknya selaku ummat_Nya, kita harus selalu senantiasa berpegang teguh kepada tali Agama Allah.:)
sebuah kisah

SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA



Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?

Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)


Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA


Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?

Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.


Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.


Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)



Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.


Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.