BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibnu Khaldun yang di kutip Syalabi
mengatakan bahwa penduduk Arab padang pasir dipandang sebagai orang-orang
biadab yang tidak dapat ditaklukkan atau dikuasai. Perang dan kekerasan adalah
hal yang biasa untuk dapat bertahan hidup.
Negara Arab adalah tempat pertama
kali Islam disyiarkan oleh Nabi Muhammad SAW.. Sejarawan menuliskan bahwa
ketika Nabi melaksanakan dakwah Islam di Arab banyak sekali tantangan dan
rintangan dan bahkan sampai terjadinya peperangan.
Selain itu
para sejarawan juga menceritakan bahwa tidak sedikit terpaan yang dilontarkan
masyarakat Arab jahiliyah kepada Nabi Muhammad SAW. diantaranya, Nabi pernah
dilempari kotoran unta, diejek, dihina, bahkan disebut orang gila ketika Nabi
sedang berdakwah. Yang lebih parahnya lagi Nabi pernah diburu oleh seluruh
masyarakat Arab yang membencinya untuk dibunuh.
Karena
kesabaran dan kelemah lembutan Nabi lah yang pada akhirnya masyarakat Arab
jahiliyah yang kasar dan keras dapat ditaklukan. Tentunya tidak semudah
membalikan telapak tangan untuk menaklukan masyarakat Arab, tetapi begitu
banyak perjuangan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW..
Dalam realita masa kini banyak sekali kendala yang
terjadi ketika melaksanakan syiar Islam. Diantaranya, seorang pendakwah yang
tidak sabar dan mudah menyerah yang akhirnya dakwahnya tidak berhasil, ada yang
melakukan syiar Islam dengan anarkis contohnya, pemboman yang dilakukan oleh
para teroris, dan masalah yang terakhir sebagai bahan acuan penulis yaitu
masyarakatnya yang keras sehingga pendakwahnya kesulitan untuk melakukan syiar
Islam, permasalahan ini sama dengan yang dihadapi Nabi yaitu masyarakat
jahiliyah.
Menurut penulis sekiranya perlu adanya penjabaran tentang
masyarakat Arab jahiliyah, sebagai motivasi atau dorongan kepada pendakwah
bahwa masyarakat di zaman sekarang ini tidak sebanding dengan yang dihadapi oleh
Nabi Muhammad SAW. yaitu masyarakat Arab jahiliyah. Maka dari uraian-uraian di
atas penulis akan mengemasnya dalam sebuah makalah yang berjudul “Masyarakat Arab Pra Islam”.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal-usul
bangsa Arab?
2. Bagaimana letak
geogarafis jazirah Arab?
3. Bagaimana sistem politik
dan kemasyarakatan bangsa Arab?
4. Bagaimana sistem
kepercayaan dan kebudayaan bangsa Arab?
5. Bagaimana kehidupan
sosial masyarakat jazirah Arab?
6. Bagaimana pendidikan di
zaman Arab jahiliyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Arab Sebelum Islam
Secara etimologis
kata Arab berasal dari kata ‘araba yang
berarti bergoyang atau mudah berguncang, ibarat gerak kereta kuda di jalanan
buruk. Kata itu berubah menjadi kata i’rab
dalam tatabahasa (nahwu dan sorof) yang merupakan sistem perubahan bentuk kata
sesuai penggunaannya. Misalnya ‘araba,
ya’rabu, i’rab. Barangkali mereka disebut bangsa Arab karena memiliki
temperamen yang panas dan emosi yang labil. Tentu saja pengertian itu
menunjukkan gambaran yang stereotipik belaka[1].
Bangsa Arab
mempunyai akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras atau rumpuan bahasa
caucasoid, dalam subras Mediterranean yang anggotanya meliputi wilayah sekitar
Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabia, dan Irania[2].
Caucasoid
adalah termasuk kepada jenis Homo Sapiens
yaitu manusia yang sudah bisa berbudaya, dapat memasak dan membuat alat.
Sedangkan ciri ras caucasaid yaitu kulit putih, mata biru, hidung mancung, rambut
pirang[3].
Bangsa Arab
hidup berpindah-pindah, nomad, karena tanahnya terdiri atas gurun pasir yang
kering dan sangat sedikit turun hujan. Penduduk Arab tinggal di kemah-kemah dan
hidup berburu untuk mencari nafkah, bukan bertani dan berdagang yang tidak
diyakini sebagai kehormatan mereka, memang negeri itu susah ditanami dan
diolah. Sekalipun demikian, wilayah ini subur dalam menghasilkan bahan
perminyakan[4].
Bangsa Arab
terbagi atas tiga bagian yaitu Arab
Baidah, Aaribah dan Musta’ribah[5].
Arab Baidah adalah suku bangsa Arab yang telah punah. Yang termasuk
golongan ini adalah kaum Aad, Tsamud, Jadiis, dan Thasm, Amaaliqah, Amiim,
Jurhum dan Jaasim. Arab Aaribah adalah penduduk Yaman dan sekitarnya, yaitu
suku Qathan. Arab Musta’ribah adalah penduduk Hijaz, Najd, dan sekitarnya.
Mereka ini adalah anak-anak Ismail putra Ibrahim as., yaitu bapak yang
menurunkan Nabi Muhammad Saw.. suku
Quraisy adalah suku tertinggi di antara Arab Musta’ribah, merekalah yang
merawat ka’bah dan tugas ini menimbulkan kepemimpinan mereka atas Mekkah.
Pecahan-pecahan
Quraisy adalah Bani Hasyim, Umayyah, Naufal, Abdud Daar, Asad, Taim, Makhzum,
Adiy, Jamh, Salim.
Ketika Nabi
Muhammad Saw. lahir (570 M), Makkah adalah sebuah kota yang sangat penting dan
terkenal di antara kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun
karena letaknya[6].
Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai, menghubungkan Yaman di selatan
dan Syria di utara. Dengan adanya ka’bah di tengah kota, Makkah menjadi pusat
keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360
berhala, mengelilingi berhala utama yaitu, Hubbal[7]. Makkah kelihatan makmur dan kuat.
Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat
jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi.
Selanjutnya di
bawah ini akan dibahas secara rinci tentang letak geografis Jazirah Arab,
sistem politik dan kemasyarakatan, sistem kepercayaan dan kebudayaan, dan
kehidupan sosial masyarakat jazirah Arab.
1. Letak Geografis Jazirah Arab
Jazirah Arab terletak di Benua Asia
bagian barat, tepatnya di Timur Tengah yang berbatasan langsung dengan benua
Afrika dan dekat dengan benua Eropa. Orang Arab sudah lazim menyebut daerahnya
dengan “Jazirah Arabia” walaupun tidak tepat karena artinya adalah pulau Arab.
Jazirah Arab jika dilihat dari ilmu geografi merupakan semenanjung, bukan
pulau. Oleh karena itu, kata yang tepat digunakan adalah Sibhul Jazirah Arab
(semenanjung Arab). Walau demikian, kelaziman orang Arab mengatakan jazirah
Arab sebenarnya bima’na Sibhul Jazirah Arab[8].
Mengenai kelaziman orang mengatakan
jazirah Arab merupakan suatu daerah berupa pulau yang berada di antara benua
Asia dan Afrika, seolah-olah daerah Arab itu sebagai hati bumi (dunia). Pada
zaman purba, persangkaan orang pun demikian, walaupun letaknya di barat daya
daerah Asia. Sejak dahulu, daerah Arab memang terkenal dengan nama jazirah Arab
karena daerah itu sebagian besar di kelilingi oleh sungai-sungai dan lautan
sehingga terlihat seperti jazirah (pulau). Hal tersebut merupakan perkataan
sahabat Ibnu Abbas r.a.
Jazirah Arab
merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu. Jazirah Arab terbagi menjadi
dua bagian besar, yaitu bagian tengan dan bagia pesisir[9].
Di sana, tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah
berair di musim hujan. Sebagian besar daerah jazirah Arab adalah padang pasir
sahara yang terletak ditengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda,
karena itu ia bisa dibagi menjadi tiga bagian[10]:
a. Sahara langit memanjang
140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga
sahara Nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupan air sering kali
menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
b. Sahara Selatan yang
membentang menyambung Sahara Langit ke arah Timur sampai selatan Persia. Hampir
seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini
juga disebut dengan al-Rub’ al-khali (bagian
yang sepi).
c. Sahara Harrat, sesuatu
daerah yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan terbakar.
Gugusan batu-batuan hitam itu menyebar di keluasan Sahara ini, seluruhnya
mencapai 29 buah.
Jazirah Arab berbentuk empat
persegi panjang, sebelah utara berbatasan dengan daerah-daerah yang terkenal
dengan “Bulan Sabit yang Subur” ( fertile Crescent), yaitu daerah Mesopotamia,
Syiria, dan Palestina, dengan tanah perbatasan yang berpadang pasir; disebelah
timur dan selatan dibatasi oleh Teluk Persi dan Samudra Hindia; sebelah barat
dibatasi Laut Merah[11].
Pada zaman dahulu, jazirah Arab
terbagi ke dalam enam bagian yaitu: Hijaz, Yaman, Najd, Tihamah, Ihsa, dan
Yamamah (Arudh)[12].
Seiring dengan perkembangan zaman, sekarang jazirah Arab terbagi ke dalam
delapan bagian yang memiliki karakter masing-masing, yaitu :
1.
Hijaz, terletak di sebelah tenggara
dari Thursina di tepi Laut Merah. Di daerah hijaz itulah letaknya kota yang
terkenal dengan nama Makkah atau Bakkah, Yastrib atau Madinah, dan Thaif.
2.
Yaman, terletak disebelah selatan
hijaz. Dinamakan Yaman karena daerah itu letaknya disebelah kanan Ka’bah bila
kita menghadap ke timur. Di sebelah kiri daerah itu terletak negeri Asier. Di
dalam daerah itu ada beberapa kota yang besar-besar seperti kota Saba’
(Ma’rib), Sharia, Hudaidah, dan ‘And.
3.
Hadhramaut, terletak disebelah
timur daerah Yaman dan di tepi Samudera Indonesia.
4.
Muhram, terletak di sebelah timur
daerah Hadhramaut.
5.
Oman, terletak di sebelah utara
bersambung dengan Teluk Persia dan di sebelah tenggara dengan Samudera
Indonesia.
6.
Al-Hasa, terletak dipantai Teluk
Persia dan panjangnya sampai ke tepi sungai Euphrat.
7.
Najd, terletak di tengah-tengah
antara hijaz, Al-Hasa, Sahara negeri Syam, dan negeri Yamamah. Daerah ini
merupakan dataran tinggi.
8.
Ahqaf, terletak di daerah Arab
sebelah selatan dan di sebelah barat daya dari Oman. Daerah ini merupakan
dataran rendah.
Secara garis besar, wilayah jazirah
Arab terbagi dua bagian yaitu bagian tengah dan bagian tepi. Bagian tengah
terdiri dari tanah pegunungan yang jarang terjadi turun hujan, penduduknya
disebut kaum Badui (penduduk gurun/padang pasir) hanya sedikit
jumlahnya, terdiri dari kaum pengembara yang selalu berpindah-pindah
tempat (nomaden), mengikuti
turunnya hujan, dan mencari padang-padang yang ditumbuhi rumput tempat
mengembalakan binatang ternak sepeti unta yang diberi nama Safinatus Sahara (bahtera
padang pasir) dan biri-biri. Bagian tengah jazirah Arab terbagi dua bagian;
bagian utara disebut Najed dan bagian selatan disebut Al-Ahqaf. Bagian
selatan penduduknya sangat sedikit sehingga dikenal dengan nama Ar-Rab’ul
Khali (tempat yang sunyi)[13].
Jazirah Arab bagian tepi (pesisir)
merupakan sebuah pita kecil yang melingkari jazirah Arab yang di pertemuan Laut
Merah dengan Laut Hindia pita itu agak lebar. Pada bagian tepi ini, hujan turun
teratur dan penduduknya hidup menetap yang disebut Ahlul Hadhar (penduduk
negeri). Mereka mendirikan kota-kota dan kerajaan-kerajaan yaitu Al-Ahsa (Bahrain),
Oman, Mahrah, Hadhramaut, Yaman, dan Hejaz serta Hirah dan Ghassan di sebelah
utara. Mereka pernah membina berbagai macam kebudayaan.
Luas Jazirah Arab kurang lebih
1.100.000 mil persegi atau 126.000 falsafah persegi atau 3.156.558 kilometer
persegi[14].
Tanah yang begitu luas itu sepertiganya tertutupi lautan pasir, yang paling
besar terkenal dengan nama ar-Rab’ul
Khali. Selain pasir, daerah ini juga dipenuhi oleh batu-batu yang besar
atau gunung-gunung batu yang tinggi. Di antara yang paling tinggi adalah Jabal
as-Sarat, sehingga iklim di Jazirah Arab secara umum sangat panas, bahkan
termasuk yang paling panas dan paling kering di muka bumi. Menurut Bernard
Lewis[15],
padang pasir negeri Arab berjenis-jenis, dan yang terpenting adalah yang
disebut Nufud, yaitu lautan aneka ragam bukit pasir yang selalu
bergeser, sehingga merupakan pemandangan alam dengan lingkungan yang selalu
berubah, tanahnya agak keras dan terletak di daerah yang semakin mendekati
Syiria dan Irak.
Dengan keadaan alamnya yang gurun
(padang pasir), penduduknya memiliki ke istimewaan yaitu mereka memiliki nasab
murni, karena Jazirah Arab tidak pernah dimasuki oleh orang asing. Bahasa
mereka pun murni dan terpelihara dari kerusakan bahasa yang disebabkan oleh
percampuran dengan bangsa-bangsa lain seperti yang terjadi pada bahasa penduduk
negeri. Oleh karena itu, padang pasir dijadikan sekolah tempat mempelajari dan
meneriman bahasa Arab yang fasih ketika bahasa Arab telah mengalami kerusakan
di kota-kota dan negeri[16].
Sifat yang menonjol dari penduduk
padang pasir adalah pemberani yang ditimbulkan oleh keadaan mereka yang saling
sendirian di pesawangan atau di padang pasir. Mereka selamanya membawa senjata
sebagai alat untuk menjaga dirinya sendiri karena tidak ada yang melindunginya
selain keberanian mereka sendiri. Mereka selalu mengganggu dan menyerang
penduduk negeri yang disebabkan sulitnya kehidupan di padang pasir. Oleh karena
itu, Ibnu Khaldun yang di kutip Syalabi[17]
mengatakan bahwa penduduk padang pasir dipandang sebagai orang-orang biadab
yang tidak dapat ditaklukkan atau dikuasai oleh penduduk negeri. Dengan
sifat-sifatnya itu, mereka tidak dikenal oleh kaum pelancong dan
penulis-penulis. Setelah agama Islam tersebar di Jazirah Arab mereka
berdatangan ke kota-kota dan diceritakanlah peri kehidupan mereka di padang
pasir.
Lebih lanjut,
Ahmad Hashari[18]menjelaskan
bahwa penduduk Arab kuno adalah penduduk fakir miskin yang hidup di pinggiran
desa terpencil, mereka senang berperang, membunuh, dan kehidupannya bergantung
pada bercocok tanam dan turunnya hujan, mereka berpegang pada aturan qabilah
atau suku dalam kehidupan sosial.
![]() |
2.
Sistem Politik
dan Kemasyarakatan
Bangsa Arab termasuk rumpun bangsa Smit, yaitu keturunan Syam ibn
Nuh, serumpun dengan bangsa Babilonia, Kaldea, Asyuria, Ibrani, Phunisia, dan
Habsy[20].
Para sejarawan Arab membagi bangsa Arab atas dua kelompok besar, yaitu Arab
Baidah dan Arab Baqiyah. Arab Baidah adalah bangsa Arab yang sudah punah jauh
sebelum Islam lahir. Riwayatnya tidak banyak diketahui kecuali yang termaktub
di dalam kitab-kitab suci agama Samawi, semisal kaum ‘Ad dan Tsamud. Adapun
Arab Baqiyah terbagi dua yaitu Arab Aribah dan Arab Musta’ribah. Arab Aribah
dinamakan Qathaniyah yang dinisbatkan kepada Qathan, moyang mereka.
Bangsa Arab meyakini bahwa dari bahasa Qathan inilah asal bahasa mereka.
Sementara itu, Arab Musta’ribah adalah keturunan Ismail as ibn Ibrahim as dan
dan mereka dinamakan pula Ismailiyah atau ‘Adnaniyun[21]
(keturunan Ismail ibn Ibrahim).
Sistem politik Jazirah Arab pra
Islam sudah terwujud. Bagi penduduk padang pasir (Ahl al-Badwi), yaitu
dengan adanya kabilah-kabilah. Perasaan kesukuan sangat kuat yang melindungi
keluarga dan warga suatu suku dari penganiayaan dan tindakan sewenang-wanang
karena di padang pasir tidak ada pemerintahan resmi. Kabilah atau suku sebagai
ikatan darah (keturunan) atau ikatan kesukuan, berkewajiban melindungi warganya
dan orang-orang yang menggabungkan diri atau meminta perlindungan. Sebuah
kabilah di pimpin oelah seorang Syaikh Al-Qabilah, yang biasanya dipilih
dari salah seorang anggota yang usianya paling tua. Apabila seorang warga atau
pengikutnya dianiaya atau dilanggar haknya maka kewajiban kabilah atau suku itu
menuntut bela. Karenanya, sering terjadi peperangan antara suku yang
kadang-kadang berkelanjutan sampai beberapa turunan.
Sementara itu, penduduk negeri (Ahl
al-Hadhar) telah mendirikan kota-kota dan kerajaan-kerajaan seperti[22]:
Yaman, negeri tempat tumbuh kebudayaan paling penting di Jazirah Arab pra
Islam. Kerajaan ini berada di sebelah selatan Jazirah Arab. Kerajaan-kerajaan
yang pernah berdiri di Yaman adalah Kerajaan Main (berdiri tahun 1200 SM),
kerajaan Qutbah (berdiri tahun 1000 SM) sebagi pengawas selat el Mandeb,
kerajaan Saba (berdiri tahun 950-115 SM) terkenal dengan Ratu Bilqist dan
bendungan Ma’rib yang membendung air di antara dua gunung serta bangsa Arab
menjadi penghubung perdagangan antara Eropa dan dunia timur jauh, kerajaan Himyar
(115 SM – Abad ke V M) terkenal dengan kekuatan armada niaga yang berlayar
mengarungi India, Cina (Tiongkok), Somali, dan Sumatera. Perniagaan ketika itu
dapat dikatakan dimonopoli himyar[23].
Setelah itu Yaman terjajah oleh Habsy (Abad V M – Penyerangan Abrahah, 50 hari
sebelum kelahiran Nabi Muhammad Saw.). Selanjutnya, Yaman dikuasai kerajaan
Persia dengan gubernurnya bernama Bazan yang menganut Islam atas seruan
Rasulullah Muhammad Saw..
Hirah dan Ghassan[24],
dua kerajaan yang berada di sebelah utara Jazirah Arab, merupakan kerajaan
protektorat yang didirikan untuk kepentingan kerajaan Romawi dan Persia. Hal
ini disebebkan karena kafilah-kafilah Romawi dan Persia sering diganggu oleh
suku-suku Arab yang memeras dan merampoknya. Kerajaan Hirah berada di bawah
perlindungan Persia dan kerajaan Ghassan di bawah perlindungan Romawi. Apabila
kerajaan Persia dan kerajaan Romawi berperang, kerajaan Hirah memihak kerajaan
Persia dan kerajaan Ghassan memihak kerajaan Romawi. Raja-raja kedua kerajaan
itu berasal dari keturunan Arab Yaman.
Kerajaan Hirah (Manadzirah) berdiri
sejak abad III M sampai lahirnya agama Islam. Kerajaan ini di anggap sebagai
penyiar Ilmu pengetahuan di Jazirah Arab karena mereka menyiarkan kepandaian
menulis dan membaca di samping berniaga di seluruh Jazirah Arab. Raja-rajanya
yang terkenal[25]:
Umru ul Qais Nu’man ibnu Umru ul Qais (pendiri istana khawarnaq dan istana
Sadir awal abad V M), Mundzir ibnu Ma’is Sama’, Amr ibnu Hind (terkenal dengan
nama Amr ibnul Mundzir ibnu Ma’is Sama) dan Mundzir ibnu Nu’man ibnul Mundzir
sebagai raja terakhir yang menggabungkan ke dalam pemerintahan Islam setelah
diperangi Khalid ibnul Walid.
Kerajaan Ghassan (Shasasinah) diambil
dari mata air di Syam yang disebut Ghassan. Kaum Ghasasinah menganut agama
Masehi yang diterimanya dari bangsa Romawi dan memasukannya ke Jazirah Arab.
Antara kerajaan Hirah dan Ghassan selalu terjadi perselisihan terutama mengenai
tapal batas. Raja-rajanya yang mahsur: Jafnah, ibnul Amr, Arkam ibnu Tsa’labah,
dan Jabalah ibnul Aiham sebagai raja terakhir yang masuk Islam setelah
pertempuran Yarmuk, namun ia murtad dan lari ke Romawi pada masa pemerintahan
Umar ibnul Khatthab.
Hijaz, berbeda dengan negeri-negeri
di Jazirah Arab, yang mencakup Mekkah, Yastrib (Madinah), Thaif, dll, tidak
pernah dijajah, diduduki atau dipengaruhi oleh bangsa lain. Mungkin karena
faktor ketandusan dan kemiskinan negerinya yang menyebabkan Negara-negara lain enggan
untuk menjajah dan mendudukinya[26].
Hijaz telah di pimpin oleh suku Amaliqah sebelum Nabi Ismail dilahirkan. Pada
zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, didirikan bangunan super monumental berupa
Ka’bah yang kini menjadi kiblat umat Islam yang selalu didatangi kaum muslimin
dari seluruh penjuru dunia untuk melaksanakan ibadah Haji maupun Umrah.
Ka’bah pada masa itu bukan hanya
disucikan dan dikunjungi oleh penganut-penganut agama asli Mekkah, tetapi juga
oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di sekitarnya[27].
Ikatan politiknya dipegang oleh sebuah suku, dikepalai kepala suku yang
berfungsi mengamankan para peziarah yang datang ke kota
itu. Selanjutnya didirikan suatu pemerintahan yang pada mulanya berada ditangan
dua suku yang berkuasa, yaitu Jurhum (pengusir suku Amaliqah) sebagai pemegang
kekuasaan politik dan peperangan, serta Ismail (keturunan Nabi Ibrahim as)
sebagai pemegang atas kekuasaan Ka’bah dan urusan-urusan keagamaan. Kekuasaan
politik selanjutnya berpindah ke tangan suku Khuza’ah pada tahun 207 SM dan
akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai pada tahun 440 M. Qushai
mendirikan Darun Nadwah, tempat untuk bermusyawarah bagi penduduk mekkah di
bawah pengawasannya. Menurut Syalabi, Qushai juga mengatur urusan-urusan yang
berhubungan dengan pemeliharaan Ka’bah yaitu[28]:
1.
As-Siqayah, menyediakan
air minum. Air diletakkan di dalam bak-bak dan dicampuri oleh sedikit buah
kurma dan anggur kering agar terasa manis.
2.
Ar-Rifadah, menyediakan
makanan bagi jemaah haji yang kurang mampu.
3.
Al-Liwa, bendera.
Menyeru untuk berperang, dengan memasang bendera di atas tombak di depan
pimpinan lasykar.
4.
Al-Hijabah, penjaga pintu
Ka’bah dan memegang anak kuncinya.
5.
Sifarah, kuasa usaha
Negara atau duta.
Selain jabatan yang empat itu,
Haikal yang dikutip Jaih Mubarok menambahkan dua jabatan lagi yang dipegang
Qushai ibnu Qilab, yaitu:
1.
Nadwat, petugas yang
harus memimpin rapat tahunan.
2.
Qiyadat, pemimpin
pasukan ketika hendak berperang.
Suku Quraisy berkuasa di Mekkah
sampai datangnya agama Islam. Urusan kepemimpinan dipegang oleh putra-putranya
silih berganti hingga akhirnya di pegang oleh Abdul Muthalib, kakek Nabi
Muhammad Saw.
3.
Sistem
Kepercayaan dan Kebudayaan
Dalam hal kepercayaan (Aqidah),
bangsa Arab pra Islam percaya kepada Allah sebagi pencipta. Mereka sudah
memahami keesaan Allah dan mengikuti agama yang menuhankan Allah. Sebelum Nabi
Muhammad Saw. diutus, mereka sudah kerap kali kedatangan dakwah dari para nabi
utusan Allah, yang menyampaikan seruan agar menyembah kepada Tuhan Yang Maha
Esa semata-mata, jangan sampai mempersekutukan sesuatu dengan-Nya[30].
Nabi-nabi utusan Allah yang datang
dan berdakwah kepada bangsa Arab diantaranya Nabi Nuh as diutus untuk kaum ‘Ad
dan Nabi Shaleh diutus untuk kaum Tsamud. Mereka tidak mau menerima seruan para
nabi Allah itu hingga diutusnya Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as. Seruan Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail diterima baik di sekitar Jazirah Arab. Namun beberapa
puluh tahun kemudian, kesucian agama Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
diputarbalikkan, diubah, direka, ditambah, dan dikurangi oleh para pengikutnya.
Menurut Munawar Chaili, yang dikutip oleh Maslani dan Ratu Suntiah[31]
bangsa Arab percaya dan yakin bahwa tuhan itu ada dan tuhan itu Maha Esa. Dia
yang menciptakan segenap makhluk, yang mengurus, yang mengatur, dan pemberi
sesuatu yang dihajatkan oleh segenap makhluk. Akan tetapi, dalam menyembah
(beribadah) kepadanya, mereka membuat atau mengadakan berbagai perantara,
dengan tujuan untuk mendekatkan diri mereka kepada tuhan.
Sebagian bangsa Arab pra Islam
adalah menyembah berhala. Setiap kabilah memiliki patung sendiri, sehingga ada
360 buah patung berada di dalam dan si sekeliling Ka’bah ketika Nabi Muhammad
Saw. melakukan Futuh Mekkah pada tahun delapan hijriah. Empat patung yang
terpenting di Jazirah Arab pada masa itu adalah Hubal di Ka’bah, Latta di
Thaif, ‘Uzza di Hijaz, dan Manat di Yastrib. Menurut Jaih Mubarok, mereka pada
umumnya tidak percaya pada hari kiamat dan tidak pula percaya kepada
kebangkitan setelah kematian. Walaupun sebagian besar bangsa Arab melakukan
penyimpangan, namun masih ada yang mempertahankan faham al-Hanifiyyah,
ajaran Nabi Ibrahim as. Dan Nabi Ismail as. (Q.S. Ali Imran: 67), diantaranya
‘Umar ibn Nufai dan Zuhair ibn Abi Salma.
Dalam rangka menghormati Ka’bah
(kegiatan haji dan umrah), ada larangan berperang pada bulan Zulqaidah,
Zulhijjah, Muharram (mengerjakan haji) dan Rajab (mengerjakan umrah). Bulan-bulan
itu dinamai Asyhuru’l Hurum (bulan-bulan yang terlarang). Namun,
penduduk padang pasir sangat berat menghentikan peperangan selama tiga bulan
berturut-turut, karena perang sudah menjadi bagian dari kegemaran (hobi)
mereka, maka bulan Muharram (berperang) ditukar dengan bulan Safar (dilarang
berperang)yang dinamai an-Nasi (pengunduran).
Mengenai kebudayaan, penduduk
padang pasir (Ahl al-Badwi) Jazirah Arab pra Islam hidup dalam budaya
kesukuan Badui. Akibat peperangan yang terus-menerus, kebudayaan mereka tidak
berkembang. Bila mereka bekerja, mencipta, dan menegakkan suatu kebudayaan, datanglah
orang lain memerangi dan meruntuhkan. Sejarah mereka hanya dapat diketahui
kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya islam. Itupun hanya dapat diketahui
melalui kitab-kitab suci, syair-syair atau ceritera-ceritera yang diterima dari
perawi-perawi karena tidak ada bangunan yang dapat melukiskan sejarah mereka
ataupun tulisan-tulisan yang dapat menjelaskan sejarahnya itu[32].
Berbeda dengan penduduk negeri (Ahl
al-Hadhlar), mereka telah berbudaya dan sejarahnya dapat diketahui 1200
tahun SM. Menurut Badri Yatim, mereka selalu mengalami perubahan sasuai dengan
situasi dan kondisi yang mengitarinya. Mereka mampu membuat alat-alat dari besi
hingga mendirikan kerajaan-kerajaan. Bendungan Ma’rib di kerajaan Saba
Yaman, istana Khawarnaq dan istana Sadir di kerajaan Hirah
merupakan bukti hasil kebudayaan mereka, di samping yang lain di antaranya
seperti mahir pengubah syair, sebagaimana masyarakat Badui. Syair-syair itu
biasanya dibacakan, semacam pagelaran pembacaan syair di pasar-pasar syair
seperti Ukaz, Majinah, dan Zul Majaz.
Selain itu
dalam bidang arsitektur, bangunan-bangunan purba di kawasan Arab memiliki bangunan
bercorak megalitikum maupun mesolitikum. Ka’bah barangkali dapat dimasukkan
kedalam bangunan bercorak mesolitikum. Karena berbentuk bangunan dengan
batu-batu kasar yang dicampur dengan lepa seadanya. Di Arab utara kota-kota
petra dan Palmyra, meskipun sudah tinggal puing-puing, masih menunjukkan hal
itu. Demikian juga yang terdapat di Arab selatan, bahkan bekas-bekas bendungan
dimasa ratu Saba’(ratu Bilqist istri Nabi Sulaiman a.s.) di abad V SM. Bisa
disaksikan keunggulan arsitektur bangsa Arab masa lalu[33].
Jazirah Arab terletak pada jalur
perdagangan antara Syam dan Tiongkok (Cina). Kota-kota mereka masih menjadi
kota-kota perniagaan sampai kehadiran Nabi Muhammad Saw. Bernad Lewis
mengungkapkan bahwa sejak zaman dahulu kala, Negeri Arab telah tumbuh menjadi
daerah transit antara negari-negeri di Laut Merah dan Timur Jauh, dan
sejarahnya berkembang semakin meluas disebabkan oleh kesibukan lalu lintas
antara Timur dan Barat[34].
Komunikasi ke dalam dan ke luar Jazirah Arab didukung oleh bentuk geografisnya,
melewati jalur-jalur tertentu yang terencana dengan baik. Yang pertama dari
jalur-jalur itu ialah jalan raya Hijaz, mulai dari pelabuhan-pelabuhan laut dan
pos-pos perbatasan Palestina dan Transyordania, menelusur bagian tengah
pantai-pantai Laut Merah terus menuju ke Yaman. Jalan inilah yang dari masa ke
masa ramai oleh daratan kafilah, antara kerajaan Alexandria dan
pengganti-penggantinya di Timur dekat dengan negeri-negeri Asia Jauh. Di daerah
itu pulalah terletak jalan kereta api Hijaz.
Sumber ekonomi
utama yang menjadi penghasilan orang Arab di masa jahiliyah sangat dikenal
dengan bisnis dan perdagangannya. Perdagangan menjadi darah daging orang-orang
Quraisy[35].
Firman Allah SWT
. É#»n=\} C·÷tè% ÇÊÈ öNÎgÏÿ»s9¾Î) s's#ômÍ Ïä!$tGÏe±9$# É#ø¢Á9$#ur ÇËÈ
karena kebiasaan orang-orang
Quraisy, (yaitu)
kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. (Q.S. Quraisy :1-2).
Tafsir ayat,
“Orang
Quraisy biasa Mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam
pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. dalam perjalanan itu
mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang
dilaluinya. ini adalah suatu nikmat yang Amat besar dari Tuhan mereka. oleh
karena itu sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat
itu kepada mereka”.
Jalan kedua melewati Wadi’d
Dawasir, mulai dari penghujung timur-laut Yaman ke pusat negeri Arab, yang
menghubungkannya dengan jalur-jalur lain, yaitu Wadi’s Rumma, ke selatan
Mesopotamia. Jalur tersebut adalah penghubung (medium) yang utama pada masa
dulu, antara Yaman dengan kebudayaan-kebudayaan Asyiria dan Babilonia. Akhirnya
Wadi’s Sirhan yang mengkaitkan Arab tengah dengan tenggara Syiria via oasisi
Jawf.
4.
Kehidupan
Sosial Masyarakat Jazirah Arab
Di samping sebagai suatu bentuk
kesenian, syair dapat menggambarakn kehidupan, budi pekerti, dan adat istiadat
bangsa Arab pra Islam yang terkenal dengan zaman Jahiliyah. Menurut Charis
Waddy, yang dikutip oleh Ibu Ratu Suntiah[36] ungkapan
“Jahiliyah” mempunyai konotasi berbarisme; tidak beradab, kasar, buas,
dan tak berbudaya. Kebiasaan mereka sudah sangat menyesatkan, seperti membunuh
anak-anak perempuan kareana dianggap membawa sial dalam keluarga, berperang
terus menerus antar kabilah, minum khamer, bejudi, dan berzina.
Sebagai suatu seni yang paling
indah, syair amat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa Arab sehingga seorang
penyair mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam masyarakat. Membela dan
mempertahankan kabilah dengan syair-syair, melebihi seorang pahlawan yang membela
kabilahnya dengan pedang dan tombak. Syair sangat berpengaruh bagi bangsa Arab
sehingga dapat meninggikan derajat seseorang yang tadinya hina dina (seperti
kisah Abdul ‘Uzza ibnu ‘Amir yang hidup melarat dan banyak anak, dipuji oleh
penyair Al-A’sya sehingga menjadi masyhur dan penghidupannyamenjadi baik) dan
dapat menghina dinakan seseorang yang tadinya mulia (seperti kisah penyair
Hassan ibnu Tsabit yang mencela sekumpulan manusia sehingga menjadi hina dina)[37].
Menurut Mushthafa Sa’id al-Khinn dalam
buku Dirasat Tarikhiyyat li al-Fiqh wa Ushulih wa al-Ittijahat al-lati
Zhaharat Fihima yang dikutip Jaih Mubarok, bahwa bangsa Arab pra Isalm
menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya[38].
Dalam perkawinan, mereka mengenal berbagai macam, diantarnya adalah:
1.
Istibdla, yaitu seorang
suami meminta kepada istrinya supaya berjimak dengan laki-laki yang dipandang
mulia atau memiliki kelebihan tertentu seperti keberanian dan kecerdasan. Selama
istri “bergaul” dengan laki-laki tersebut, suami menahan diri dengan tidak
berjimak dengan istrinya sebelum terbukti bahwa istrinya hamil. Tujuan
perkawinan semacam ini adalah agar istri melahirkan anak yang memiliki sifat
yang dimiliki oleh laki-laki yang menyetubuhinya yang tidak dimiliki oleh
suaminya. Seperti seorang suami merelakan istrinya berjimak dengan raja sampai
terbukti hamil agar memperoleh anak yang berasal dari orang terhormat.
2.
Poliandri, yaitu beberapa
lelaki berjimak dengan seorang perempuan. Setelah perempuan itu hamil dan
melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil semua lelaki yang pernah
menyetubuhinya untuk berkumpul di rumahnya. Setelah semuanya hadir, perempuan
tersebut memberitahukan bahwa ia telah dikaruniai anak hasil hubungan dengan
mereka; kemudian perempuan tersebut menunjuk salah seorang dari semua laki-laki
dan yang ditunjuk tidak boleh menolak.
3.
Maqthu, yaitu seorang
laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal dunia. Jika seorang
anak ingin mengawini ibu tirinya, dia melemparkan kain kepada ibu tirinya
sebagai tanda bahwa ia menginginkannya; sementara ibu tirinya tidak memiliki
kewenangan untuk menolak. Jika anak laki-laki tersebut masih kecil, ibu tiri
diharuskan menunggu sampai anak itu dewasa. Setelah dewasa, anak tersebut
berhak memilih untuk menjadikannya isteri atau melepaskannya.
4.
Badal, yaitu tukar
menukar isteri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan untuk memuaskan
hubungan sex dan menghindari dari kebosanan.
5.
Shighar, yaitu seorang
wali menikahkan anak atau saudara perempuannya kepada seorang laki-laki tanpa
mahar.
Di samping tipe perkawinan di atas,
Abdul karim khalil mengemukakan analisis Fyzee yang mengutip pendapat Abdur
Rahim dalam buku Kasf al-Ghumma, bahwa beberapa perkawinan lain yang
terjadi pada bangsa Arab sebelum datangnya Isalm yaitu[39]:
1.
Bentuk perkawinan yang diberi
sanksi oleh Islam, yakni seseorang meminta kepada orang lain untuk menikahi
saudara perempuan atau budak dengan bayaran tertentu (mirip kawin kontark).
2.
Prostitusi sudah dikenal. Biasanya
dilakukan kepada para pendatang/tamu di tenda-tenda dengan cara mengibarkan
bendera sebagai tanda memanggil. Jika wanitanya hamil, maka ia akan memilih di
antara laki-laki yang mengencaninaya itu sebagai bapak dari anaknya yang
dikandung.
3.
Mut’ah adalah praktik yang umum
dilakukan oleh bangsa Arab sebelum Islam. Meskipun pada awalnya, Nabi Muhammad
Saw. mentolelir, namun akhirnya melarang. Hanya kelompok Syiah Itsna ‘Ashariah
yang mengizinkan perkawinan tersebut.
Subhi Mahmashshani sebagaimana
dikutip Jaih Mubarok mengatakan bahwa dalam bidang mu’amalat, diantara
kebiasaan mereka adalah kebolehan transaksi mubadalat (barter), jual
beli, kerjasama pertanian (muzara’at), dan riba. Salain itu, terdapat
jual beli yang bersifat spekulatif seperti bay al-Munabadzat. Di antara
ketentuan hukum keluarga Arab para Islam adalah kebolehan berpoligami dengan
perempuan tanpa batas, serta anak kecil dan perempuan tidak dapat menerima harta pusaka atau harta peninggalan.
Mengenai tatanan masayrakat Arab
pra Islam yang cenderung merendahkan harkat dan martabat wanita, Charis Waddy yang dikutip oleh ibu Ratu Suntiah menyebutnya[40], dengan suatu
bentuk kejahatan-kejahatan sosial yakni memperlakukan wanita secara
sewenang-wenang: poligami yang tak terbatas, tidak adanya hak pemilikan, dan
kelaziman membunuh bayi perempuan. Sementara itu, Nurcholis Majid melihatnya
dari dua kasus: pertama, perempuan dapat diwariskan, seperti pada
pernikahan Maqthu dimana ibu tiri harus rela dijadikan isteri oleh anak
tirinya ketika suaminya meninggal; ibu tiri tidak mempunyai hak pilih, baik
untuk
menerima maupun untuk menolaknya;
dan kedua, perempuan tidak memperolah harta pusaka.
5. Sejarah Pendidikan Masyarakat Jazirah Arab
Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah mempunyai adat
istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi ia muncul di kota
terpenting bagi mereka yang menjadi jalur penting bagi lalu lintas perdagangan
mereka kala itu.
Secara umum Arab Pra-Islam disebut sebagai periode Jahiliyah yang berarti
kebodohan dan barbarian. Secara nyata, dinyatakan oleh Philip K. Hitti yang
dikutip Sulhani Hermawan, bahwa masyarakat Mekkah Pra-Islam adalah masyarakat
yang tidak memiliki takdir keistimewaan tertentu (no dispensation), tidak
memiliki nabi tertentu yang terutus dan memimpin (no inspired prophet) serta
tidak memiliki kitab suci khusus yang terwahyukan (no revealed book) dan
menjadi pedoman hidup.
Merujuk kata “Jahiliyah” dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat Ali Imron/3
ayat 154, surat Al-Ma’idah/5 ayat 50, dan surat al-Fath/48 ayat 26, kata
“Jahiliyah”, cukup memberikan sebuah petunjuk bahwa masyarakat Jahiliyyah itu
memiliki ciri-ciri yang khas pada aspek keyakinan terhadap Tuhan (zhannbi
Allahi), aturan-aturan peradaban (hukm), life style (tabarruj) dan karakter
kesombongannya (hamiyyah). Muhammad Quthb menambahkan bahwa jahiliyyah yang
dimaksudkan didalam ayat-ayat tadi dalam lawan kata dari Al- a’lim (mengetahui)
dan Al-halim (sopan santun) dan merupakan sinonim dari kata la ya’lamun (tidak
mengetahui), jadi Jahiliyyah yang dimaksudkan adalah orang yang tidak
mengetahui hakikat Tuhan (dalam kejiwaan dan prilaku).
Kebanyakan buku-buku sejarah dan sirah nabawiyah yang ditulis Arab
Pra-Islam selalu diidentikan dengan keadaan masyarakat yang amoral, biadab,
tidak berperikemanusiaan, suka berperang, membunuh anak perempuan dan masih banyak lagi perilaku bejat yang
diletakan pada masyarakat Arab pada umumnya. Persoalan yang teerjadi
dimasyarakat Arab pada khususnya. Selain perilaku yang buruk tadi ternyata
maasyarakat Arab juga memiliki adat-istiadat, sikap, perilaku yang baik dan
maasih tetap disyariatkan setelah agama Islam datang.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.
Secara garis
besar, wilayah jazirah Arab terbagi dua bagian yaitu bagian tengah dan bagian
tepi. Bagian tengah terdiri dari tanah pegunungan yang jarang terjadi turun
hujan, penduduknya disebut kaum Badui (penduduk gurun/padang pasir).
Jazirah Arab bagian tepi (pesisir) hujan turun teratur dan penduduknya hidup
menetap yang disebut Ahlul Hadhar (penduduk negeri).
2.
Sistem politik
Jazirah Arab pra Islam sudah terwujud. Bagi penduduk padang pasir (Ahl
al-Badwi), yaitu dengan adanya kabilah-kabilah.
3.
Sebagian
masyarakat Arab para Islam sudah mempercayai bahwa Allah adalah tuhan sang
pencipta, lantaran dakwah yang samapai pada mereka sebelum Nabi Muhammad Saw.
yaitu oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Namun beberapa puluh tahun kemudian
kepercayaan mereka diputarbalikan, direka, diubah, ditambah dan dikurangi oleh
masyarakat pengikutnya.
4.
Adat atau
kebiasaan masyarakat Arab dahulu adalah, mengubur bayi perempuan hidup-hidup
karena dipandang hina, mabuk-mabukan, hura-hura, poliandri, dan badal (yaitu
tukar menukar istri).
5.
Sejarah Pendidikan Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa Arab Pra-Islam
yang disebut Jahiliyyah, tidak bisa dinisbatkan kepada suatu kabilah, suku dan
bangsa tertentu, atau kurun masa tertentu karena Jahiliyyah itu adalah
sifat-sifat dan prilaku manusia. Jahiliyyah bisa di alami manusia zaman dahulu
atau manusia modern sekarang ini, asal ciri-ciri sikap dan prilaku menunjukan
Jahiliyyah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Su’ud. 2003. Islamologi
(Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam peradaban umat manusia). Jakarta: PT
Asdi Mahasatya.
Afifuddin, Dkk. 2007. Sejarah
Pendidikan. Bandung: CV Insan Mandiri.
Ahmad Al-Usairy. 2011. Sejarah Islam (sejak zaman Nabi Adam hingga abad XX). Jakarta:
Akbar Media.
Ahmad
Syalabi. 1974. Mausu’at al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharat al-Islamiyah.(Kairo:
Maktabah al-Nadhah al-Mishiriyah).
Badri Yatim.
2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ratu
Suntiah, Maslani.2010. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Insan
Mandiri.
Supriyadi. 2008. Sejarah Peradaban
Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Zaid Husein. 1995. Kisah 25 Nabi dan
Rasul. Jakarta: Pustaka Amani.
[1]
Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta:
PT. Asdi Mahasatya, 2003). Hlm. 15.
[6] Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam (Dirasah
Islamiyah ll), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 9.
[19]
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Isalm,(jakarta:
Akbar Media, 2011), hlm. 63.
[23] Ahmad Syalabi, Mausu’at al-Tarikh al-Islami wa
al-Hadharat al-Islamiyah, (Kairo:
Maktabah al-Nadhah al-Mishiriyah). Hlm. 37.
[34]
Ratu Suntiah, Maslani, op. Cit., hlm.
24.
[35]
Ahmad Al-Usairy, op. Cit., hlm.
72.
[38]
Dedi Supriyadi, op. Cit., hlm. 55
0 comments:
Post a Comment